Anggapan bahwa syura
(musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski
anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir
penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan
oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum
Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya.
Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.
Hukum syura adalah mandub/sunnah,
bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran
[3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir
ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298). Syura
adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti
khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya
mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses
pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang
Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir
meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan
boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut
(An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran
[3]: 159.
Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’).
Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas,
melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat
hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat.
Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr
haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan
sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam
mengharamkannya.
Kedua: dalam masalah yang
berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan
keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang
dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan
suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus
dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami
permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya,
dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada
para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa
ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada
Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat
strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat
yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).
Ketiga: masalah yang langsung
menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan
adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan
dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan
kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A
atau si B (sebagai kepala negara atu ketua oraganisasi), apakah kita
akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh
setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan
ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi
saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari
Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap
di Kota Madinah.
Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi bukanlah jalan bagi umat
Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq
dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]:
42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan
dipropagandakan.
Sistem demokrasi harus diganti dengan
sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat
Islam untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera
tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah.
WalLahu a’alam bi ash-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar