DEMOKRASI PEMBAWA MALAPETAKA UNTUK SELURUH MANUSIA!!!!!!!!
Darurat Kekerasan Seksual Anak: Di mana Tanggung Jawab Negara?
Hati ibu mana yang tidak teriris iris, perih, melihat anak
kesayangannya dicekam trauma : setiap tidur mengigau ketakutan, tidak
mau bertemu orang lain, bahkan tidak mau memakai celana dan begitu takut
saat buang air kecil sampai ia mengurut kemaluannya agar air seninya
segera habis dan ia bisa segera keluar dari toilet? Hati ibu mana yang
tidak ikut marah mendengar kejadian keji ini, anak 6 tahun disodomi oleh
sekelompok orang yang seharusnya melindunginya?
Peristiwa pelecehan seksual terhadap anak TK internasional di Jakarta
ini, sungguh mengguncang hati setiap orang yang memiliki nurani.
Apalagi berita terakhir, korban ternyata tidak hanya satu. Sekolah yang
katanya berstandar internasional, dengan bayaran 20 juta per bulan,
memiliki ratusan CCTV, ternyata bukan tempat yang aman bagi anak-anak.
Kasus JIS, seolah menjadi pintu pembuka bagi terungkapnya berbagai kasus
kekerasan seksual terhadap anak. Di Medan, seorang ayah tega mencabuli
anak perempuannya yang baru berumur 18 bulan. Di Kukar, seorang guru
SD menjadi tersangka kasus sodomi terhadap seorang siswanya. Di
Cianjur, paedofilia melibatkan seorang oknum guru SD di Yayasan
Al-Azhar. Pelaku berinisial AS diduga melakuka pelecehan seksual
terhadap belasan muridnya. Sedangkan di Aceh, seorang oknum polisi
ditahan setelah mencabuli 5 bocah (Kompas.com, 23/04/2014).
Berita terakhir yang makin membelalakkan mata, di Sukabumi, seorang
pemuda 24 tahun, telah menyodomi 57 anak berusia antara 6-13 tahun!
(Kompas.com, 4 Mei 2014). Benar-benar bejat!
Hari ini, tidak ada orangtua yang merasa aman akan keadaan anak-anaknya.
Anak laki-laki maupun perempuan, semua berpotensi sebagai korban.
Menanggapi hal ini, Koalisi Perlindungan Pendidikan Anak (KPPA)
berpendapat pemerintah harus mempercepat pembentukan sistem perlindungan
anak yang lebih kuat.
Ali Tanjung dari KPPA mengimbau pemerintah agar membuat norma dan aturan
yang dapat merangkul keluarga dan masyarakat agar lebih berperan dalam
perlindungan anak. Dengan peraturan itu, perubahan sikap anak atau
tindakan berbahaya pada anak akan mudah dan cepat terdeteksi. Selain
itu, juga harus dibantu dengan pantauan pihak keamanan dan para
pendidik di lembaga pendidikan.
Di sisi lain, Ali menyayangkan sikap pemerintah yang kerap bertindak
setelah sebuah kasus kekerasan maupun pelecehan terhadap anak telah
terungkap ke publik. Ia berpendapat pemerintah sudah harus menciptakan
peraturan-peraturan sebagai tindakan pencegahan, bukan bertindak setelah
sebuah kasus terjadi (Kompas.com, 23/04/2014).
Pendapat Ali Tanjung ini menarik untuk dicermati. Selama ini setiap
kali terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak, selalu yang diangkat
adalah bagaimana orangtua bisa mendidik anak agar bisa membentengi
diri. Kalaupun mengangkat peran negara, hanya sebatas bagaimana negara
harus merumuskan hukuman yang tepat pada pelaku. Jarang ada pendapat
yang mengemuka tentang sejauh mana peran negara untuk mengatasi masalah
ini.
Kekerasan Seksual pada Anak Tanggung Jawab Negara
Ada beberapa pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam maraknya kasus
kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Pertama, keluarga. Keluarga
dianggap lalai dalam menjalankan fungsi pendidikan terutama pendidikan
seks terhadap anak sehingga memudahkan pelaku untuk melakukan perbuatan
bejatnya.
Kedua adalah lingkungan. Lingkungan masyarakat yang permisif, tak acuh,
membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya. Bagaimana mungkin di
toilet TK bisa terjadi perbuatan keji pada seorang anak tanpa ketahuan?
Apakah guru tidak melihat perubahan sikap anak ketika masuk kembali ke
kelas? Lingkungan juga seringkali memberikan pengaruh buruk, yang
melahirkan para pelaku kejahatan. Lihatlah bagaimana Emon, pelaku
sodomi 55 anak di Sukabumi, ternyata merupakan korban sodomi juga di
masa SMP-nya.
Ketiga adalah negara. Pembahasan peran negara umumnya hanya sebatas
sebagai pemberi sanksi. Sanksi kejahatan seksual terhadap anak yang
hanya maksimal 15 tahun penjara dianggap terlalu ringan.
Kalau kita mau menelaah secara mendalam, sebenarnya negara lah yang
semestinya menempati posisi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
atas terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak. Mengapa demikian?
Pada dasarnya, penyebab munculnya kekerasan seksual pada anak ini adalah
penyebab yang bersifat sistemik. Apa yang disebut sebagai penyebab
selama ini, hakekatnya adalah suatu akibat. Akibat dari penerapan
sistem sekulerisme, liberalisme dan demokrasi yang merupakan anak-anak
dari kapitalisme.
Lalainya keluarga dari membentengi anak, adalah lalainya keluarga
terhadap pendidikan agama. Anak tidak diajarkan untuk menutup auratnya,
menjaganya agar tidak dilihat oleh orang lain dan merasa malu
membukanya. Orang tua lalai, karena mereka sendiri juga tidak paham
agama atau tidak memiliki kesempatan mengajarkannya akibat kesibukan
kerja. Ini adalah dampak dari abainya negara terhadap pendidikan agama
serta penerapan ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu untuk juga
bekerja. Anak menjadi korban, tidak dididik dengan benar dan
diperhatikan. Anak diserahkan begitu saja ke lembaga-lembaga
pendidikan, yang kadang justru menjadi tempat anak mendapatkan pelecehan
seksual.
Masyarakat yang rusak juga merupakan akibat negara membiarkan virus
kebebasan (liberalisme) merajalela. Kebebasan yang kebablasan dari cara
hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu, tanpa
memandang lagi akibat yang ditimbulkan. Negara membiarkan masyarakat
berhadapan dengan serbuan pornografi dari berbagai media massa, terutama
internet. Alasannya negara tidak mampu mengontrol semua situs yang
beredar. Padahal Malaysia, China dan beberapa negara lain bisa
menerapkan mekanisme pengontrolan situs porno.
Negara juga lemah dalam menerapkan kontrol terhadap sekolah asing. JIS
misalnya, ternyata tidak memiliki izin menyelenggarakan pendidikan anak
usia dini (kindergarten). Kurikulumnya juga kurikulum asing yang
mengajarkan liberalisme, sampai-sampai berpelukan dan berciuman sudah
menjadi pemandangan yang biasa di sana.
Masuknya jaringan pedofilia internasional juga akibat lemahnya sistem
jaminan keamanan negara. Negara tidak mengontrol orang asing yang masuk,
baik sebagai tenaga kerja, tenaga pengajar, maupun turis. Salah satu
mantan guru JIS ternyata seorang pedofil yang telah memangsa 60an anak,
mungkin dialah salah satu yang mewariskan budaya pedofilia di JIS. Di
Bali, tidak sedikit anak yang menjadi korban pedofilia turis-turis
asing. Celakanya, anak-anak korban pedofilia ini saat dewasanya
berpeluang untuk menjadi pelaku. Selanjutnya, anak yang menjadi korban
mereka juga tertular dan akan mejadi pelaku, begitu seterusnya
berregenerasi membentuk rantai panjang jaringan pedofilia.
Dari sisi implementasi hukum, negara kita memiliki hukum yang lemah
terhadap kejahatan dengan anak sebagai korban. Kejahatan seksual
terhadap anak, hanya diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara, bisa
dipotong remisi, masa percobaan setelah menjalani 2/3 masa hukuman,
total mungkin hanya 8 atau 9 tahun yang harus dijalani pelaku.
Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi, yang penyusunannya diserahkan
kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas. Rasa iba
manusia membuat hukum rajam, hukuman qishash, atau hukuman di hadapan
khalayak ditolak. Prinsip HAM lebih dikedepankan daripada hukum Allah.
Pelaku kejahatan hanya dihukum penjara sementara waktu. Akibatnya
hukum menjadi mandul, tidak memiliki efek pencegahan, bahkan tidak
membuat jera pelaku.
Dengan demikian, kasus kekerasan seksual pada anak, pada dasarnya
penyebabnya adalah penerapan sistem yang rusak, sistem yang hanya
melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Mencoba
menyelesaikan masalah ini hanya dari satu sisi, misalnya pendidikan seks
pada anak semenjak dini, atau memperberat hukuman terhadap pelaku,
tidak akan cukup.
Sekalipun anak memahami ia tidak boleh membuka kemaluannya di hadapan
orang asing, namun bagaimana mereka menghadapi paksaan orang dewasa?
Kalau mereka menolak atau berteriak, boleh jadi pelaku malah akan
menghabisi nyawanya. Atau solusi memperberat hukuman pelaku, tidak akan
efektif juga bila arus rangsangan seksual di lingkungannya begitu kuat.
Hukuman berat akan terabaikan, bahkan bisa membuat pelaku melakukan
tindakan yang lebih ekstrim dalam usahanya menghindari hukuman, misalnya
dengan membunuh dan memutilasi korban untuk menghilangkan jejak. Di
beberapa negara bagian AS misalnya, pelaku pedofilia dijatuhi hukuman
penjara plus pengebirian, yang membuat pelaku tidak memiliki syahwat
lagi. Namun kejadian pedofilia di sana tidak lantas berkurang
karenanya.
Dengan demikian, dalam masalah kekerasan seksual terhadap anak, negara
adalah satu-satunya pihak yang mampu menyelesaikan secara tuntas.
Islam Menjadikan Negara sebagai Pelindung Anak
Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan seksual terhadap anak.
Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan
tindak kekerasan terhadap anak. Islam adalah satu-satunya agama yang
tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Islam juga merupakan
aqidah siyasi, yaitu aqidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk
mengatur kehidupan di setiap aspeknya.
Penerapan aturan Islam ini dibebankan kepada negara. Rasulullah saw.
bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara: “Sesungguhnya
imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya
dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Dalam hadits lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta
pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan
Ahmad).
Secara rinci, tanggung jawab negara dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual adalah sebagai berikut:
1) Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan
kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan
nafkah untuk keluarganya. Semua sumberdaya alam strategis adalah milik
umat yang dikelola negara. Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh
hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warganegara, baik untuk
mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan. Dengan jaminan
seperti ini, para ibu tidak perlu bekerja sehingga bisa berkonsentrasi
menjalankan tugas utamanya mendidik, memantau dan menjaga anak-anaknya.
2) Negara tidak membiarkan adanya anak-anak yang terlantar seperti
anak-anak jalanan yang rentan menjadi korban pedofilia. Negara punya
kekuatan untuk memaksa orang yang wajib mengasuh anak bila mampu. Bila
tidak mampu, negara wajib mencarikan pengasuh yang mau bertanggung
jawab, atau negara menampung dan mendidik mereka dalam rumah-rumah
khusus anak yatim dan anak terlantar.
3) Negara wajib menjaga suasana taqwa terus hidup di tengah masyarakat.
Negara membina warganegara sehingga mereka menjadi manusia yang
bertaqwa dan memahami hukum-hukum agama. Pembinaan dilakukan baik di
sekolah, di masjid, dan di lingkungan perumahan. Dalam hal ini, negara
mencetak para ulama dan menjamin kehidupan mereka sehingga mereka bisa
berkonsentrasi dalam dakwah.
Ketaqwaan individu akan menjadi pilar pertama bagi pelaksanaan
hukum-hukum Islam. Individu bertaqwa tidak akan melakukan kekerasan
seksual terhadap anak-anak. Orangtua juga paham hukum-hukum fiqh terkait
dengan anak sehingga bisa mengajarkan anak hukum Islam sedari kecil,
seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar tidur
anak, dan sebagainya.
Dakwah Islam juga akan mencetak masyarakat yang bertaqwa. Masyarakat
bertaqwa bertindak sebagai kontrol sosial untuk mencegah individu
melakukan pelanggaran. Jadilah masyarakat sebagai pilar kedua dalam
pelaksanaan hukum syara’.
4) Negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat.
Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita. Tetapi mereka
terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga
aqidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah
masyarakat. Bila ada yang melanggar ketentuan ini, negara akan
menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media.
Untuk media asing, konten akan dipantau agar tidak memasukkan pemikiran
dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan aqidah dan nilai-nilai
Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan,
homoseksualisme dan sejenisnya dicegah untuk masuk ke dalam negeri.
5) Negara mengatur kurikulum sekolah yang bertujuan membentuk
kepribadian Islam bagi para siswa. Kurikulum ini berlaku untuk seluruh
sekolah yang ada di dalam negara, termasuk sekolah swasta. Sedangkan
sekolah asing dilarang keberadaannya di dalam wilayah negara.
6) Negara membuat aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan di
masyarakat berdasarkan hukum-hukum syara’. Aturan ini bertujuan
mengelola naluri seksual pada laki-laki dan perempuan dan mengarahkannya
untuk mencapai tujuan penciptaan naluri ini yaitu melahirkan generasi
penerus yang berkualitas. Karena itu, pernikahan dipermudah, bahkan
negara wajib membantu para pemuda yang ingin menikah namun belum mampu
secara materi.
Sebaliknya, kemunculan naluri seksual dalam kehidupan umum dicegah.
Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menutup aurat, menahan
pandangan, menjauhi ikhtilat (interaksi laki-laki dan perempuan) yang
diharamkan, dan seterusnya. Dengan metode ini, aurat tidak
dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan. Terbiasanya orang
melihat aurat perempuan dan melakukan seks bebas, akan membuat sebagian
orang kehilangan hasrat seksnya dan mereka membutuhkan sesuatu yang lain
untuk membangkitkannya. Muncullah kemudian penyimpangan seksual
seperti pedofilia, homo dan lesbi. Inilah yang dihindarkan dengan
penerapan aturan pergaulan sosial dalam Islam.
7) Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya dan pelaku
kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa dicambuk 100 kali bila
belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh.
Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai
denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain
hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238). Dengan hukuman
seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap
anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
8) Anak-anak yang menjadi korban sodomi akan direhabilitasi dan
ditangani secara khusus untuk menghilangkan trauma dan menjauhkan mereka
dari kemungkinan menjadi pelaku pedofilia baru nantinya.
9) Negara mencegah masuknya isme dan budaya yang bertentangan dengan
Islam atau membahayakan kehidupan masyarakat seperti liberalism,
sekulerisme, homoseksualisme dan sejenisnya dari saluran mana pun.
Media massa, buku, bahkan orang asing yang masuk sebagai turis atau
pedagang dilarang membawa atau menyebarkan hal tersebut. Bila mereka
melanggar, dikenakan sanksi berdasarkan hukum Islam.
Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan masalah kekerasan
terhadap anak secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman,
menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan calon generasi
terbaik.
Namun, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas,
tidak lain hanyalah negara yang menerapkan system Islam secara utuh,
yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. []
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/05/09/darurat-kekerasan-seksual-anak-di-mana-tanggung-jawab-negara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar