demokrasi bertentangan dengan akidah Islam. Dalam demokrasi rakyat
memberikan cek kosong kepada wakil rakyat dan penguasa untuk membuat dan
menerapkan hukum. "Sedangkan dalam sistem khilafah, rakyat mengangkat
seorang khalifah untuk menerapkan syariah," tegasnya.
Kedua,
demokrasi boros sedangkan khilafah hemat. Agar terpilih jadi wakil
rakyat, presiden atau pun kepala daerah butuh biaya yang tinggi serta
dilakukan pemilihan secara priodik, bisa 4 tahun sekali atau lima tahun
sekali. "Untuk meneruskan SBY sebagai presiden saja, memakan biaya
ratusan milyar bahkan trilyunan, kan boros sekali," tegasnya.
Sedangkan
dalam Islam, yang dipilih hanya khalifah. Para pejabat di bawahnya
ditunjuk oleh khalifah. "Khalifah tetap menjabat selama tidak melanggar
syariah, kalau melanggar baru dicopot," tegasnya.
Ketiga, konsekuensi
dari borosnya demokrasi maka wakil rakyat dan pejabat berkhianat kepada
rakyat agar mendapatkan dana segar untuk modal pemilu. "Untuk
mendapatkan uang tersebut maka dibuatlah UU dan kebijakan yang
menguntungkan asing meskipun merugikan rakyat banyak, pembuatan dan
penerapan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas salah satu buktinya,"
di
samping bertentangan dengan akidah Islam, demokrasi yang sudah
dijalankan di Indonesia sejak reformasi dan menelan biaya yang tidak
sedikit ini malah mengokohkan penjajahan dan tidak kunjung membuat
rakyat sejahtera. "Maka umat Islam harus kembali kepada khilafah!"
tegasnya kepada seratusan peserta yang hadir. (mediaumat.com, 9/12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar