Kamis, 08 Mei 2014

Soal Jawab: Partisipasi di dalam Sistem Kufur

Partisipasi di dalam Sistem Kufur
Pertanyaan:
Dalam pembahasan tentang haramnya partisipasi seorang muslim di dalam sistem kufur yang tidak memutuskan hukum dengan Islam, salah seorang mereka mengatakan bahwa ia mendengar seorang syaikh memperbolehkan partisipasi ini dengan berdalil bahwa Nabi Yusuf as. telah memutuskan hukum dengan syariah raja di Mesir… dan bahwa Najasyi tinggal beberapa tahun memerintah dengan kekufuran, perlu diketahui bahwa Najasyi adalah seorang muslim dan Rasul saw menshalatkannya dengan shalat ghaib…Kemudian maslahat dan maslahat itu merupakan dalil syar’iy yang mengharuskan hal demikian. Seorang muslim dan ia ada di pemerintahan (bisa) memelihara kemaslahatan kaum Muslimin lebih dari orang-orang sekuler …
Pertanyaannya, sejauh mana kesahihan istidlal ini? Kemudian apakah secara riil ada syaikh yang mengatakan ini? Kami mohon jawaban atas pertanyaan kami, dan semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.
Jawab:
Benar, pendapat itu dikatakan oleh beberapa masyayikh penguasa. Dan itu merupakan pendapat yang tidak tegak didukung dengan hujjah. Sebab memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan itu dalil-dalilnya gamblang dan jelas, qath’iy tsubut qath’iy ad-dilalah dan itu bukanlah sesuatu yang diperselisihkan diantara para ulama. Memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan adalah fardhu. Allah SWT berfirman:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنْ الْحَقِّ﴾
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS al-Maidah [5]: 48)
﴿وَأَنْ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”(TQS al-Maidah [5]: 49)
Nash-nash dalam makna ini banyak. Sedangkan tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan dan memutuskan hukum dengan syariat-syariat (hukum) positif buatan manusia maka itu merupakan kekufuran jika penguasa tersebut meyakininya, dan zalim atau fasik jika penguasa itu tidak meyakininya.Ini dinyatakan di dalam firman Allah SWT:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ﴾
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS al-Maidah [5]: 44)
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(TQS al-Maidah [5]: 45)
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْفَاسِقُونَ﴾
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”(TQS al-Maidah [5]: 47)
Sedangkan apa yang dijadikan dalil oleh masyayikh penguasa, maka seperti yang kami katakan, itu tidak bisa menjadi hujjah. Hal itu sebagai berikut:
Istidlal dengan aktivitas Nabi Yusuf as menurut orang yang mengatakan pendapat itu, bahwa Nabi Yusuf as memutuskan hukum pada beberapa kasus dengan syariah raja Mesir, yakni dengan selain apa yang telah Allah turunkan, istidlal ini tidak pada tempatnya. Sebab yang diperintahkan adalah mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan wahyu dari Allah SWT. Dan kita tidak diperintahkan mengikuti syariah Nabi Yusuf as atau para nabi lainnya. Yang demikian itu karena syariah sebelum kita bukan syariah untuk kita. Syariah sebelum kita itu dinasakh dengan Islam. Allah SWT berfirman:
﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا﴾
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”(TQS al-Maidah [5]: 48)
Makna “muhayminan ‘alayhi” yakni menasakh. Jadi Islam menasakh syariat kitab-kitab terdahulu. Karena itu, syariah orang sebelum kita bukan merupakan syariah untuk kita.
Ada beberapa imam ushul mengambil kaedah dalam bentuk lain yakni:
“شَرْعُ مَنْ قبلَنا شرع لنا ما لم يُنْسَخ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar