Kamis, 01 Mei 2014

Menyikapi Peringatan Hari Buruh dalam sistem Demokrasi..

Gegap gempita selalu menghiasi aksi buruh setiap 1 Mei, yang bertepatan dengan hari buruh sedunia..ini terlihat di 35 kabupaten/kota melakukan aksi secara besar2an. Di 12 provinsi baru-baru ini membuahkan banyak ekses dan pengaruh negatif.Kerugian materiil berupa kerusakan berbagai fasilitas, gedung dan tidak beroperasinya mesin-mesin serta tidak berjalannya produksi tentu bukan nilai nominal yang sedikit. Belum lagi dampak berupa kelesuan produksi dan iklim investasi. 10 perusahan, diantaranya PT Sepatu Bata Tbk (pabrik sepatu asal Chekoslovakia), PT S (pabrik kabel asal Indonesia), PT BHI (pabrik injeksi plastic asal Korea), PT DGW (pabrik agro chemical asal China), dan PT P (pabrik alat berat untuk pertambangan asal Jepang), telah memutuskan akan menutup pabriknya. APINDO memperkirakan adanya kerugian 900 miliar akibat penutupan tersebut (Kompas.com, 9/11).
Aksi besar-besaran itu merupakan realisasi dari rencana mogok nasional untuk menyuarakan dan memperjuangkan tiga tuntutan atas penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan mulai 2014. Aksi ini juga merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja terhadap pemerintah yang dianggap tidak peka merespons aspirasi mereka. Trilogi tuntutan itu bukanlah isu yang baru muncul kemarin, melainkan telah disuarakan bertahun-tahun oleh pekerja melalui berbagai cara elegan dan demokratis agar diperoleh penyelesaian bijak dari pemerintah.
Ironis, fenomena gejolak aksi-aksi buruh ini terjadi di tengah puja-puji dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan sekitar 6,5 persen di tengah situasi krisis ekonomi global ini disebut-sebut paling pesat di dunia setelah China. Di AS, presiden SBY disebut membawa Indonesia menuju kekuatan ekonomi baru Asia (New Emerging Economic in Asia). Bahkan Ratu Inggris pun menganugerahinya gelar Ksatria Salib Yang Dibaptis (Grand Cross Knight in Bath) dengan kedok pertumbuhan ekonomi yang fantastis ini. Ini menujukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tak disertai pemerataan kesejahteraan.
Komentar kritis Eric Stark Maskin, Born, AS –peraih Nobel Ekonomi 2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom dunia yang percaya bahwa kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi. Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. (Kompas, 15 September 2012).
Namun demikian, memang tak mudah untuk memenuhi 3 tuntutan buruh di atas, bila pemenuhannya ditanggungkan pada pengusaha semata. Akan ada problem baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam kenaikan biaya produksi, akan diikuti dengan keputusan menaikkan harga jual barang, terjadi inflasi, daya beli masyarakat semakin rendah dan pada gilirannya buruh tetap kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Belum lagi posisi tawar pengusaha masih cukup tinggi karena ada jutaan orang yang membutuhkan pekerjaan. Pengangguran terbuka masih menunjuk ke angka 7,24 juta orang, sementara orang yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu jumlahnya mencapai 6,6 juta. Saat ini saja sudah ada ‘ancaman’ aksi balasan dari pengusaha. Pengusaha yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Nasional sepakat melakukan mogok produksi. Asosiasi Pertekstilan Indonesia misalnya, Senin, (5/11) mendesak bertemu pimpinan Polri untuk membahas keamanan di pabrik. “Jika Polri tidak bisa memberikan keamanan (di pabrik), pengusaha akan mogok produksi.” Mogok ini dilakukan oleh para pengusaha, sebagai balasan mereka terhadap aksi demontrasi buruh yang menurut para pengusaha sudah mengarah ke tindakan kriminal. (Republika, 6 Nov. 2012).
Lalu bagaimana menyelesaikan problem-problem perburuhan? Bagaimana mewujudkan sistem yang membuat Buruh Sejahtera dan Pengusaha tetap Untung?

Gagasan Kapitalisme – Sosialisme tentu saja tidak akan mampu mewujudkannya..
Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kaum Kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jamin berobat, dan sebagainya.
Jadi, masalah perburuhan akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem ini yaitu sistem Demokrasi yang lahir dari Sukularisme/Kapitalisme. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum Sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekedar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong dan kosong.sooo.. demokrasi adalah sistem pembohong!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar