Perjalan
sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat
lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya
perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem
negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara
Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka
yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada
otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988: 17). Inilah
awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan
dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan
bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan
warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk
kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi
dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip
dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan)
sebagai pembuat peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah
siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya
kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai
abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja
dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat
sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja
dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam
proses politik (pembuatan keputusan). Dan ternyata raja selalu tidak
bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya secara adil dan
menyeluruh.
Selanjutnya
terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi
di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis
(1775 - 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga
peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di
luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan
rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7) .
Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai
kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut
derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah
mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme
(ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara
konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan
konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak
hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua
penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat
telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan
pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi
mereka.
Kemajuan sosial (social progress),
yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial
budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai
abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di
mana demokrasi membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi
lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990: 17) .
Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi
transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.
Meskipun
demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime.
Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam
pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main
(keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh
seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap
kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan
rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian
diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi
keinginan dan kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam
(1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya
kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang
menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah
rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk
memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya
menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan
bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari
adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya
agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai
akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu
lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang
kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara.
Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat
dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah
agama itu harus dipisahkan dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi
antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk
kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan
cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka
agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari
adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam
kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari
kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa
manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka
juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia
yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara),
kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik).
Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini (An-Nabhani, 1953: 24).
Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal
dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding
dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi
kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga
mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat).
Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang
menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini.
Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini,
sebab sosialispun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa
kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat jika
ideologi ini dinamakan ideologi Kapitalisme (An-Nabhani, 1953: 24-25).
Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai
hanya sebuah "isme" biasa atau sebuah pemikiran filsafat belaka,
bahkan tidak bisa juga hanya dikatakan sebagai sebuah teori
ekonomi . Akan tetapi kapitalisme telah menjadi sebuah ideologi dunia
yang mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia
secara menyeluruh dan sistemik. Lester C. Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan tentang perjalanan kapitalisme sebagai berikut:
Since
the onset of the industrial revolution, when success came to be defined
as rising material standards of living, no economic system other than
capitalism has been made to work anywhere. No one knows how to run
successful economies on any other principles. The market, and the market
alone, rules. No one doubts it. Capitalism alone taps into modern
beliefs about individuality and exploits what some would consider the
baser human motives, greed and self-interest, to produce rising
standards of living. When it comes to catering to the wants and desires
of every individual, no matter how trivial those wants seem to others,
no system does it even half so well. Capitalism’s nineteenth and
twentieth-century competitors - fascism, sosialism and comunism - are
all gone (Thurow, 1996: 1).
Adapun mengenai kelahiran ekonomi kapitalis itu sendiri, hal ini tidak
bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18
yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang
monumental “Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations” pada tahun 1776 (Saefuddin, 1992: xvi).
Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku
ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan
analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan,
pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam
bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai
sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku Smith
sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang
kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar,
kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith
melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang
kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar
analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi
seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya (Saefuddin, 1992:
xvi): “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or
the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own
interest”.
Meskipun telah begitu banyak mengalami perubahan, ternyata teori Smith-lah yang sampai kini mendasari perkembangan ilmu ekonomi liberal yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme
yang telah mulai berjangkit sejak revolusi industri dan makin
berkembang dengan penemuan Smith, pada suatu masa dalam sejarahnya telah
melahirkan “anak haram”nya yang kemudian memberontak. Meskipun benih
nilai-nilai filsafatnya berasal dari masa pemunculan sejaman, “anak
haram” yang memberontak dalam wujud komunisme itu baru muncul setelah
kapitalisme merajalela di mana-mana menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan masyarakat buruh yang diperas dan dihisap. Karl Marx, bidan
yang di”nabi”kan oleh pengikutnya pada masa selanjutnya, menulis
tentang kapitalisme, mengupas kemudian meramalkan keruntuhan sistem
tersebut dalam bukunya “Das Kapital”. Kapitalisme memang tidak
segera mati seperti yang diramalkan oleh Marx, tetapi pemikiran Marx
sendiri tentang komunisme memunculkan kekuatan baru yang tidak kalah
besarnya. Dewasa ini pertarungan masih dengan sengit terjadi antara
kedua paham tersebut dalam skala dan gelanggang yang tidak
tanggung-tanggung luasnya: mondial (Saefuddin, 1995: xvii).
Ajaran Smith dan Marx, sesungguhnya tidak lagi diikuti secara murni.
Tetapi dalam berbagai ranting dan cabang pemikiran yang diturunkan
daripadanya masih dapat ditemui dasar-dasar ajaran kedua tokoh tersebut.
Ekonomi yang kini berlaku dan terus mengalami perkembangan di sebagian
besar negara di dunia bersumber dari kedua ajaran tersebut, yakni
kapitalisme dan sosialisme (Saefuddin, 1995: xvii).
Rais, dalam bukunya “Cakrawala Islam” (1996), secara lebih spesifik
menjelaskan hubungan antara ekonomi kapitalis dengan kapitalisme
sebagai sebuah ideologi yang juga biasa dikenal dengan nama libelarisme. Ekonomi kapitalisme pada hakekatnya hanyalah suatu “byproduct” dari filsafat politik libelarisme yang berkembang di zaman pencerahan (Enlightenment)
pada abad 18. Semangat libelarisme itu mengajarkan bahwa pada dasarnya
manusia sama sekali tidak jahat dan sejarah ummat manusia dapat
disimpulkan sebagai sejarah kemajuan (progress) yang menuju pada
suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntutan spiritual dari
lembaga agamapun tidak diperlukan lagi (Rais, 1996: 91).
Ekses semangat liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez l ‘infame
yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal ini gereja
katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja”
dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan
didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat
menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian
melahirkan kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”, mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya. Tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands)
dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat
secara paling rasional, sehingga dapat menciptakan kesejahteraan
sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat (Rais, 1996: 91).
Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat
yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak,
di samping menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalisme dan
individualisme yang menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap
kapitalisme, muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat
melahirkan sosialisme ilmiah. Berbagai bentuk sosialisme di Eropa
sebelum kehadiran marxisme dianggap sebagai sosialime utopia. USSR
merupakan negara sosialisme marxis pertama, otomatis negara sosialis
ilmiah, yang berhasil didirikan dan kemudian diikuti oleh RRC maupun
negara Eropa Timur (Rais, 1995: 92).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi kapitalis
sebenarnya merupakan bagian dari kerangka ideologi liberalis atau juga
biasa disebut ideologi kapitalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar